Di tengah gemuruh prestasi akademik dan lomba-lomba resmi, ada satu suara lain yang muncul dari lorong-lorong SMA Maarif Lawang. Bukan dari ruang kelas. Bukan dari podium juara. Tapi dari sudut-sudut sunyi sekolah yang penuh ide liar dan mimpi liar: band underground sekolah bernama Kapal Karam 705.
Nama ini bukan asal comot. “Kapal Karam” adalah simbol perlawanan. Sebuah metafora tentang keberanian menghadapi tenggelam, namun tetap memilih berlayar melawan arus. Sedangkan “705” adalah kode yang hanya dipahami oleh mereka : Dirga, Syauqi, Bahrul, Irwan,Rizal sebagai anggota Band mereka.
“Kami bukan tenggelam, kami cuma menolak permukaan,” ujar vokalis Kapal Karam 705 sambil menyetem gitarnya yang kabelnya dibalut isolasi saat Tim kami ( Jurnalis Smamala) mencoba mengulik dan mewancarai Band ini.
Dengan genre underground yang mereka usung—campuran dari punk, hardcore, dan sedikit grunge. Uniknya, band ini aktif tanpa pembina resmi dan tanpa fasilitas mumpuni. Mereka latihan pakai alat pinjaman, kadang ceksound pakai ampli rusak, tapi semangat mereka lebih nyala daripada speaker sekolah.
Sebelumnya, Kapal Karam 705 hanya dikenal lewat story IG dan bisik-bisik antar teman. Tapi di Arutala Fest — event tahunan sekolah yang tahun ini digelar untuk merayakan ulang tahun ke-40 SMA Maarif Lawang — mereka jadi headline, penampil puncak yang ditunggu semua penonton.
Kapal Karam 705 membuktikan bahwa musik bukan cuma tentang suara, tapi tentang keberanian. Dan SMA Maarif Lawang harus bangga, karena dari sekolah ini, lahir suara yang tak hanya berani tampil, tapi juga berani bertanya, melawan, dan bertahan.
“Tenggelam itu takdir, tapi karam dengan suara sendiri? Itu pilihan.” – Kapal Karam 705
Tinggalkan Komentar